"HISTORY OF JAVA" ATAU "SEJARAH JAWA" JILID II THOMAS STAMFORD RAFFLES SEBAGAI BAGIAN DARI HISTORIOGRAFI KOLONIAL

 "HISTORY OF JAVA" ATAU "SEJARAH JAWA" JILID II THOMAS STAMFORD RAFFLES BAGIAN DARI HISTORIOGRAFI KOLONIAL


Ahmad Amri Alfajar, Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, 2025 

                               

Thomas Stamford Raffles lahir pada 6 Juli 1781, Ayahnya bernama Benjamin Raffles dan merupakan kapten Kapal dagang Ann yang telah jauh di Pelabuhan Morant, Jamaika, sedangkan Ibunya bernama Anne Lyde berasal dari Yorkshire. Pada umur 14 tahun, Raffles pernah menempuh pendidikan di sekolah asrama pada tahun 1795, setelah lulus dia bekerja sebagai juru tulis di EIC (East India Company). Raffles pintar berbahasa melayu, dia mendapat kepercayaan di tempatkan di Malaka dari Gubernur Jenderal di Kalkuta India, Lord Minto. Ketika situasi di Eropa sedang kacau, Napoloen Bonaparte menguasai Kerajaan Belanda, yang menjadi rajanya adalah Louis Napoloen adiknya Napoleon Bonarparte, Raffles bergabung dengan ekspedisi militer Inggris untuk menghantam kekuatan gabungan Belanda dan Prancis di Pulau Jawa yang dipimpin Laksmana Robert Stopford. (Raffles, 2020 : 674).


(Thomas Stamford Raffles)

Pada saat itu di pulau Jawa masih di kuasai oleh Perancis (Republik Bataaf) dipimpin oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Pada saat itu Daendels mendirikan sebuah benteng di Meester Cornelis. Herman Willem Daendels menjabat dari tahun 1808 – 1811, nanti digantikan oleh Jan Willem Jansens. Ketika pada masa Jan Willem Jansens justru pertahanan di pulau Jawa mudah ditaklukkan oleh Inggris walaupun mempunyai benteng yang kuat tetapi pasukan Inggris berhasil mengepung benteng tersebut dalam waktu 3 jam. Gubernur Jenderal Kalkuta di India, Lord Minto mengapresiasi kepada Raffles atas jasanya ia diberikan tugas di Jawa sebagai Gubernur Jenderal Inggris di pulau Jawa dan berkedudukan di Buitenzorg (Bogor). (Ibid, 675)

Thomas Stamford Raffles (1781-1826) membuat sebuah karya History Of Java yang terdiri dua jilid yakni Jilid 1 dan Jilid 2, Raffles menggunakan cara pandang dia sebagai orang Eropa untuk melihat pemahaman mendalam tentang sejarah, budaya, dan masyarakat pulau Jawa. Raffles punya perhatian terhadap benda-benda peninggalan artefak, arkeologi, warisan budaya dan mendokumentasikannya ke dalam buku ini. Misalnya ketika ia menemukan borobudur ia merasa terpukau karena ia melihat bahwa ada bangunan candi yang berada di pedalaman dan ditutupi oleh rerumputan.


(Buku History Of Java Jilid Karya Raffles yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia)


            Pendekatan Raffles dalam menulis buku ini melalui pengamatan visual, penyelidikan dan ekspedisi untuk menelusuri jejak-jejak arkeologis dan artefak yang ada di Jawa di bantu dari para bangswan-bangsawan Jawa. Ia menggunakan sumber-sumber lokal seperti kesusastraan Jawa, ada juga sumber kolonial seperti Hogendorp’s Memoir on Java, 1800 dan artefak lalu ia dokumentasikan.

“...reruntuhan Prambanan dan Borobudur sangat menggagumkan sebagai karya seni yang megah. Luasnya massa bangunan yang ditutupi di beberapa bagian dengan vegetasi iklim yang subur.., dan keteraturan keseluruhannya. Begitu banyak dan menariknya patung dan gambar timbul (relief) yang dihiasi.. (Ibid, 7)


Raffles ketika menemukan candi prambanan dengan dibantu oleh seorang insinyur atau pejabat yang ia kerahkan pada saat melakukan ekspedisi di Pulau Jawa.

Sehubungan dengan reruntuhan di Prambanan, kami menemukan sebuah bangunan benteng, berdasarkan keterangan seorang insinyur Belanda pada tahun 1797, kemudian pergi untuk membangun sebuah benteng di Klaten. Di jalan raya antara dua ibu kota pribumi dan tidak jauh dari lokasi candi, tetapi tidak ada keterangan mengenai barang antik yang ada di sana pada masa itu. Dia menemukan kesulitan saat membersihkan puing-puing dan tanaman untuk mendapatkan pemandangan reruntuhan dan memungkinkan untuk membuat sketsa. (Ibid, 7)

 

(Gambar 1. 1, Reruntuhan Candi Prambanan)


Ia juga menggunakan sumber-sumber benda seperti seperti artefak, patung-patung, candi-candi yang ditemukan dan di dokumentasikan di dalam bukunya, berdasarkan pengamatan visualnya dalam melihat visualisasi artefak dan candi yang ditemukan di Jawa.



(Gambar 1. 2, Lara Jonggrang)




(Gambar 1. 3, Aksara Kawi)

Tujuan Raffles menulis karya History Of Java ini adalah untuk menyampaikan kepada publik dengan alasan abahwa benda-benda purbakala di Jawa merupakan benda menarik sehingga Raffles mencoba membayangkan dan berharap kepada masyarakat umum untuk memberikan pandangan tentang historis benda-benda yang ditemukan dan apa tujuan benda tersebut bisa digunakan.

                          

“... Dalam karya ini, tujuan saya adalah untuk menyampaikan kepada publik dalam bentuk yang sesingkat mungkin sesuai dengan waktu yang tersedia dan tanpa bias dari berbagai pendapat yang telah ada sebelumnya atau teori baru informasi yang saya miliki. Akan tetapi, benda-benda purbakala di Jawa merupakan bahan spekulasi yang sangat luas dan menarik sehingga saya akan mengandaikan adanya keinginan dari para pembaca untuk memberikan pendapat tentang asal-usul dan tujuan benda-benda tersebut..”(Ibid, 107)

 

Raffles membuat kebijakan di bidang Agraria yakni sistem sewa tanah (Ladrentee), Raffles melihat bahwa tanah di pulau Jawa tidak ada penguasa besar total yang menguasai lahan/tanah, maka daripada itu petani penggarap bisa mengelola tanah/lahan dengan membayar upeti dengan hasilnya itu bisa bagi hasil dengan pemilih lahan/tanah dalam hal ini adalah pemerintah.

 

“...Pembagian tanah harus berada di bawah pengawasan kolektor dan ia harus menetapkan biaya pemungutan, sejumlah uang yang setara dengan sewa uang dari tanah-tanah itu seandainya tanah-tanah itu tidak bebas. Untuk tujuan ini, tanah-tanah tersebut akan ditaksir, secara teratur dimasukkan di antara tanah-tanah lain dalam sewa umum desa. Akan tetapi, penagihan uang sewa yang ditaksir itu tidak akan dilakukan secara nyata. Hal itu hanya akan muncul dalam pembukuan, seolah-olah uang sewa itu telah direalisasikan dan dibayarkan kepada para petugas...” (Ibid, 653)


“...Sifat kepemilikan tanah di seluruh pulau ini sekarang sudah sangat dipahami. Secara Umum, tidak ada hak milik atas tanah yang dimiliki oleh penggarap dan penguasa. Kelas menengah, yang sewaktu-waktu dapat menikmati pendapatan desa atau distrik, hanya dianggap sebagai pejabat eksekutif pemerintahan. Mereka menerima pendapatan tersebut hanya dari pemberian tuan mereka, yang bergantung pada kehendak tuannya untuk masa jabatan mereka. Mengenai hak milik yang sebenarnya ini, tidak diragukan lagi pada awalnya hanya dimiliki oleh penguasa. Namun, para penggarap pertama tanah memperoleh hak atas properti sebenarnya atas tanah yang mereka ciptakan dengan cara tertentu, sambil membayar upeti yang sewajarnya dalam bentuk bagian tertentu dari hasil panennya pada pemerintah...”(Ibid, 661-662). 

 

 “..Kepemilikan tanah di beberapa provinsi di Jawa sangat berbeda dengan yang ada saat ini. Penguasa di sini tidak dianggap sebagai tuan tanah universal. Namun, sebaliknya tanah hampir selalu dianggap sebagai milik pribadi, tidak peduli dengan cara apa pun tanah tersebut dibudidayakan atau dibagi-bagi. Tanah tersebut dapat dijual, dibiarkan, dijaminkan, digadaikan, atau dibuang, atas pilihan pemiliknya dan tidak mengacu pada kehendak penguasa..” (Ibid, 635)

 

Raffles melihat orang Jawa sebagai orang yang mempercayai takhayul atau mistis, karena menurutnya orang Jawa mempercayai hal-hal yang gaib. Raffles melihat masyarakat Jawa masih mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang mistis dan kepercayaan sinkretisme, bahwa masyarakat Jawa masih mempercayai hal-hal yang bekaitan dengan upacara-upacara untuk percaya kepada ruh nenek moyang.

 

“...Orang Jawa memiliki kepercayaan takhayul, ketika sekali kemalangan menimpa suatu tempat secara umum dan meluas hingga ke rakyat biasa...(Ibid, 233) 


Pandangan Raffles terhadap masyarakat Jawa tentu tanpa alasan karena masyarakat di dalam masyarakat Jawa tentu masih diterapkannya ritual-ritual yang bersifat sinkretisme atau yang bersifat mistis, upacara-upacara, untuk menyembah roh nenek moyang. Adanya kepercayaan bahwa roh nenek moyang yang dianggap memiliki kekuatan magis dan dipercaya bahwa kepercayaan roh nenek moyang biasa disebut Animisme. Animisme adalah kepercayaan lokal Bangsa Indonesia.

Raffles juga melihat budaya feodalisme Jawa mengenai hubungan Bangsawan lokal Jawa dengan Pejabat dan militer Belanda. Adanya penghormatan Bangsawan lokal dengan upacara penyambutan dengan adat Jawa. Ia melihat hubungan Bangsawan lokal dengan militer Belanda seperti adanya penghormatan kepada bangsa asing karena dianggap sebagai tamu. Raffles juga melihat sikap penghormatan yang dilakukan oleh perwira tinggi Belanda yang membuka topi mereka ketika disambut oleh Susunan atau Sultan Agung Mataram. Budaya militer Belanda atau Eropa yang membiasakan membuka topi dan memegangnya pada saat penyambutan. Ini adalah pertemuan kebudayaan Jawa dan Eropa.

“...Ketika pasukan Belanda mendarat, Susunan menerima kunjungan laksamana dan para perwira tinggi Belanda dengan Upacara. Para perwira Belanda yang diperkenalkan, berdiri berjajar dengan topi di tangan mereka...” (Ibid, 226)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HISTORY OF JAVA OLEH THOMAS STAMFORD RAFFLES BAGIAN DARI HISTORIOGRAFI KOLONIAL